rencana bukan rencana
ada temu yang muncul tanpa didahului mencari sesaat terasa nyata bukan nyata beberapa hal memang hadir tanpa sengaja satu dua rasanya tidak asing berbincang pagi ke sore lalu tersenyum malam ke pagi mengalun sebegitu adanya yang terjadi di esok bukan yang diterka di kemarin tidak ada kebetulan, mereka bilang atau barangkali semua skema memang tersusun rapih tanpa perlu tahu siapa pencetusnya apapun itu; yang kutahu kini aku menemukanmu detik berganti, rasa mengimbangi tempat mengeluh kuamini menjadi tempat berlabuh hari berganti, asa mengiringi denganmu setiap senang selaras dengan rasa tenang jangan jauh, bersamamu aku ingin tumbuh.
0 Comments
Bahwa akhirnya tenang hanya terekam dalam kenang, telah redam dihabisi oleh angan-angan mengenai bebas. Akupun mengutuk, jika bebas berarti lepas, selamanya aku ingin menurut.
Hingga akhirnya basa-basi mengenai masa depan telah benar menjadi basi, sudah habis dilantahkan oleh keinginan berdikari. Dependensi adalah buruk, katanya, maka kukatakan berdiri sendiri tak apa selama yang kugenggam tidak kemana. Ketika hancur bukan ada untuk diperbaiki, ketika hancur berarti ditutup dan cukup diserahkan pada sang waktu. Biar ia yang bekerja sampai segalanya sempurna kembali; tanpa perlu percobaan mengobati. Semua salah waktu, mereka bilang, semua salah waktu. Sementara manusia-manusia yang menolak untuk mencoba sekali lagi; tidak pernah salah. Dan aku tidak dapat lagi membedakan utuh dan runtuh; semenjak keduanya berisikan ruang kosong. "Kelak kamu akan dipertemukan dengan dirimu sendiri, tapi dalam wujud lain."
Ada waktu akal seakan berhenti; seperti mati namun hanya dalam persiapan untuk berevolusi. Mencerna sekian banyak asumsi, kekhawatiran, dan basa-basi. Ada waktu hati seakan berhenti; seperti musnah namun hanya berisikan terlalu banyak resah. Merasa sekian banyak emosi, kecewa, dan pergulatan dengan batin diri. Berjalan seakan segalanya berlangsung semestinya; mengusahakan semua dalam kendali, tidak ada ketakutan yang tidak dapat teratasi. Bernapas seakan segalanya terjadi dengan baik-baik; bahwa takdir adalah karib dan pada karib kamu tidak berprasangka yang tidak baik. ("Kelak kamu akan dipertemukan dengan dirimu sendiri, tapi dalam wujud lain." – tempat akalmu, hatimu, ketakutanmu yang terkendali, dan segalamu yang terjadi baik-baik; tempat keempatnya, terus menerus berotasi.) Dan hari kian waktu kian panjang; dengan bumbu-bumbu payah yang jua kunjung betah hingga petang. Pernah ada satu kali kau tanya para pipit; rindukah bermain dalam ladang yang tenteram?
Genang air bisa jadi jemu, untuk biaskan kelancungan-kelancungan kehidupan kota. Manusia hilir mudik dengan bising; namun hatinya lebih senyap daripada jurang kala malam. Menyemogakan; agar pulang tidak lebih menggoda dibanding bertahan, agar lelah tidak akan mengusaikan perjuangan. Sampai pada titik rebah bukan sekedar rebah, berkat habis sudah diguncang lumat yang bukan sekedar lumat, tapi memejam dan beristirahat; adalah butuh yang tidak ada substitusinya lagi. Karena ketika seluruh metropolitan padam, ada doa yang tak pernah alpa. Sekelumit riak keseharian
Kerap bukan untuk diindahkan Juga riuh kekacauan Tidak lebih sekedar mangsi Bagi suci belanganya Kamu menatar seribu makna sunyi Berujar tutur demi tutur Yang kupindai Dalam aksi; yang diam. Dalam dinamika; yang senyap. Dalam renyut; yang hening. Maka atas gaung yang tidak kamu jadikan teman Atau geming yang belum sempat kamu selami Aku sampaikan salamku Pada embus bayu tiap sore Agar selalu temanimu Dan beri bisik lembut Mengenai hal-hal baik yang menunggu gilirannya Untuk menjumpaimu esok hari photo credit: mirza veriandi Mari aku beri tau,
Sebuah cerita tentang ksatria menuju peperangannya, Dengan busur panah di pundaknya, Bumerang di lengannya, Dan gundah di benaknya. Sedari tadi kacau, "Aku tidak ingin kalah!" Bergema dalam batinnya. Lalu sambil memacu kudanya, Ksatria tadi melaju. "Aku tidak ingin kalah!" "Aku tidak ingin kalah!" "Aku tidak ingin kalah!" Semakin kuda melaju kencang, Semakin kalut pula dia. "Ah, aku ini takut kalah!" Terngiang dalam sel kelabunya. Pikirannya kian kalang kabut. "Aku takut kalah!" "Aku takut kalah!" "Aku takut kalah!" Hingga bumerangnya tak lebih dari hiasan, Hingga busur panahnya tak lebih dari pajangan, Karena keteguhannya yang juga tak lebih dari dongeng belaka. Dan peperangan, Pada akhirnya tak juga lebih dari kiasan, Atas keharusan Mengalahkan Ketakutan Dari Dalam Diri. Kubilang, siklus.
Bergerak secara vertikal, kalanya kamu naik dikemudian lunas oleh turun. Klasik. Penat, bosan, cari pelipur. Laramu ditimang dalam sumbu aman acuan segala perputaran. Lalu kamu mau apa pada giliran anomali meracau; Dahagamu pergi justru tinggalkan cengkar, Hambarmu pamit justru undang campah, Antidotemu justru racun bagi tubuhmu! Lupakan tentang penawar. Lupakan tentang basa-basi romansa yang redundan. Layaknya seteguk gewurztraminer, “Aroma khasnya, sisakan kering pada inderamu. Beri manis dengan syahdu. Kamu tau dia tumbuh dalam dingin, memanjakanmu dengan beku. Yang, percaya lah, tidak akan kamu temukan lagi.” Kuulangi, Lalu bagaimana jika antidotemu ternyata justru racun bagi tubuhmu? "Hidup ini kontradiksi, puan."
Yang putih Sering lebih hitam Dari hitam Yang cerah Acap lebih kelam Dari kelam Bahkan setelah menyuguhkan prolog, Ada tuan menutup tirai panggung, Puan. Karena sebuah iya tidak pernah konkret, Tenang saja berujung resah, Gaduh mengandung bisu, Maka kembali; Berarti pergi. Maka pergi; Berarti tidak kembali. "Hidup ini kontradiksi, puan." Secangkir kopi hangat,
Yang mulai mendingin, Pena yang lelah, Akan berbait-bait warkat, Dengan tinta mulai pudar, Dengan kertas mulai kusam, Tanpa pernah sampai pada tujuan. Tentang tawa yang membalut durja, Tentang ilalang yang dibalut belukar liar, Tentang celoteh manis yang apik menyelimurkan sendu. Maka bilamana kamu ingat, Satu hari aku berkata aku lebih kuat dari rindu, Ketahuilah ada hari aku andal dalam berparadoks. /1/
Daun tumbuh. Lalu gugur. Waktu tidak pernah berjalan mundur. Pun sang kembara. /2/ Ia khatam perihal lelah, Perjalanan, Perjuangan, Dan bagaimana ketiganya berkolaborasi, Merangkai sebuah mimpi. /3/ Pada lengannya, Tergenggam buku lapuk, Catatan seorang petualang, Yang di dalamnya tidak akan kamu temukan kata berhenti. Di sana hanya tertera beberapa baris; Nikmati. Jalani. Dan, Beri arti. Lalu, Pulang. /4/ Maka, ia berjalan lagi. |
PutiaPenyuka kerak telor dan rendang yang benci sekali sama flu. Archives
June 2019
Categories |