Hari ini aku melakukan rutinitas lama yang sudah hampir 2 tahun tidak aku lakukan lagi; naik angkot. Ide yang penuh ketiba-tibaan ini muncul tadi pagi saat sarapan. Memang agenda aku hari ini ke kampus kosong melompong, hanya ada kelas MKDU jam 9-11 siang. Kebetulan juga tidak ada agenda rapat satu pun pada sore dan malam. Walau beberapa deadline pekerjaan harus diselesaikan, tapi kesemuanya bisa dilakukan di rumah. Maka terbersitlah dalam pikiranku, dari pada hari ini berlangsung gitu-gitu aja, mending aku melakukan sesuatu. Dan jalan-jalan naik angkot menjadi pilihanku.
Angkot adalah kendaraan wajibku selama SMP dan SMA. Pulang sekolah, berangkat sekolah, ke rumah teman, jalan-jalan sama teman, semuanya aku tempuh dengan angkot. Khususnya ketika SMP sih, karena ketika SMA beberapa teman memang sudah membawa motor, jadi aku nebeng haha. Tapi semua itu berakhir ketika kuliah. Aku (yang sudah dewasa) kini membawa motor ke mana pun aku pergi. Xixi senangnya! Maka sembari bernostalgia, hari ini aku muter-muter sekalian pulang naik angkot. Dan aku senang menemukan hal-hal ini: Harga Angkot Tidak Berubah Secara jujur aku katakan bahwa 6 tahun menjadi pelanggan angkot tidak pernah membuat aku bisa mengira-ngira harga angkot jika itu bukan rute rutinku. Harga yang aku hapal hanyalah: Kalapa Ledeng dari balkot ke gerlong, Kalapa Ledeng dari advent ke gerlong, Cimahi Ledeng dari gerlong ke pertigaan jati cimahi. Hanya itu karena ya itu angkot pergi-pulang dari rumah ke SMP dan SMA aku. Selebihnya aku membayar benar-benar berdasarkan insting dan kondisi kantong saja. Begitu pun yang terjadi hari ini, setiap angkot aku bayar pakai 5000 dan diberi kembalian yang beragam antara 1000 sampai 3000. Tentunya aku yang memiliki sense of spatial di bawah rata-rata seorang geodet ini tidak mampu menelaah keadaan tarif angkot sekarang ini bagaimana. Tapi kemudian, aku menemukan jawabannya ketika aku naik angkot Cimahi Ledeng dari gerlong ke pertigaan jati cimahi. Harganya masih 6000 WOW TIDAK BERUBAH SEJAK AKU SMA! Ini mengagumkan. Ya memang hanya satu dari sekian data tidak membuatku bisa mengambil kesimpulan, sih. Siapa tau ini hanya outlier data. Ya tapi aku tetap senang aja sih hihi hoho hehe Pecakapan Antara Ibu-Ibu di Angkot Cimahi Ledeng Nah, kalau yang ini, bisa dibilang adalah salah satu ciri khas angkot Cimahi Ledeng yang aku suka. Biasanya ibu-ibu naik angkot mulai dari Gerlong/ Sarijadi/ Ciwaruga dan turun di Cimahi. Aku tidak pernah tau apakah mereka betul-betul selalu saling kenal atau tidak. Tapi percakapan yang terjadi di antara ibu-ibu di angkot ini selalu menarik buatku. Umur mereka juga beragam, kisaran 40 tahun sampai yang sudah sepuh juga ada. Percakapan mereka selalu dimulai dengan "bade kamana bu?" yang lalu dilanjutkan dengan diskusi-diskusi mengenai banyak hal. Rekomen dokter gigi, guru-guru di sekolah anak atau cucunya, kerja bakti di lingkungan rumahnya, pekerjaan suaminya, tujuannya mau kemana, dan lain-lain. Itu terjadi begitu saja tanpa kecurigaan apapun. Berbeda sekali dengan paradigma kehidupanku yang "ngomong seperlunya aja sama orang asing". Saling Membayarkan Angkot Hal menarik lainnya mengenai ibu-ibu nyunda yang selalu berbincang ini adalah ketika sudah saling bertukar informasi akan turun dimana, mereka langsung berniat untuk membayarkan angkot lawan berbicaranya tadi. Biasanya adegan dimulai dengan masing-masing mengeluarkan uang pecahan 10000 dan berkata "ku abi weh bu ieu aya" dan yang lainnya menepis "ih ku abi weh" begitu seterusnya hingga salah satu memenangkan perdebatan dan ditutup dengan "hatur nuhun atuh yah bu". Mungkin ini memang sederhana, tapi menamparkan untukku ketika teringat setiap kali berpergian dengan teman-teman menggunakan taksi online, percakapan yang terjadi selalu lah "ini duit yang aku ya, sok-sok yang lain mana?" Pak Supir Bertemu Temannya Ini juga menarik! Kebaikan lainnya yang bisa aku temukan saat menggunakan angkot adalah adegan pak supir angkot yang bertemu temannya sedang jalan kaki di tengah perjalanan. Biasanya pak supir ini langsung memelankan laju angkot sambil menyapa "Eh atuh bade kamana?" yang dilanjutkan dengan tawaran untuk naik ke angkot. Berikutnya ya bisa ditebak, temannya ini duduk di depan dan mereka berbincang dengan asyik. "Kumaha damang?" percakapan pun mengalir. Aku juga ingin kelak setiap bertemu teman lamaku dimanapun itu, percakapan akan mengalir begitu saja tanpa sekat. Rangkaian reuni singkat pak supir angkot dan temannya ini pun kemudian diakhiri dengan temannya turun, memberi uang untuk membayar, dan di tolak oleh pak supir, "Wios atuh ah siga ka saha wae". Jadi sekarang aku paham kalau rezeki memang sudah diatur, tapi tolong-menolong dan rasa ikhlas itu kita sendiri yang ngatur. Harga Pisang Aroma di Gerlong Masih Sama Hal terakhir yang aku temukan hari ini tidak berhubungan sama sekali dengan angkot. Tapi aku anggap berkorelasi karena kalau aku naik motor, aku tidak lewat jalan ini sehingga aku tidak akan bertemu dengan bapak penjual pisang aroma langgananku dulu. Pisang aroma ini lokasinya di dekat lampu merah gerlong, ada di kiri jalan sebelahan sama toko keripik pisang. Aku suka berasumsi pasti kedua penjual ini setiap pagi beli pisang bareng-bareng. Tapi sampai saat ini belum pernah aku konfirmasi, sih, jadi hal tadi masih berupa asumsi sampai sekarang. Yak, kembali ke pisang aroma tadi. Pisang aroma ini enak parah gokil! Manisnya sama krenyesnya pas banget. Ukurannya juga besar. Kalau biasanya tukang pisang aroma membagi 1 pisang jadi 4, ini tuh ya cuma dibagi 2. Jadi ukurannya lumayan besar. Ketika aku SMP kelas 7-8 harganya masih 1250 yang artinya kalau beli 5000 dapet 4 pisang. Lalu harganya naik menjadi 1500 mulai aku kelas 9 SMP. Sebelum aku membeli pisangnya tadi siang, aku mengira-ngira kalau harganya sekarang kisaran 2000-2500 mengingat kelas 9 itu artinya sudah 5 tahun lalu. Tapi ternyata aku salah, bung! Harga pisang aromanya masih 1500 dan mas penjualnya masih sama. Langsung deh aku beli XXX (jumlah dirahasiakan). Ah, ya kiranya segitu yang aku temukan hari ini. Tidak banyak tapi tidak sedikit juga. Naik angkot masih menyenangkan. Mungkin memang naik angkot itu selalu menyenangkan, asalkan dalam keadaan tenang dan tidak dikejar waktu. Semoga ke depannya aku akan mempunyai banyak hari-hari seperti hari ini. Dan jika hari-hari seperti ini datang (lagi), aku akan dengan senang hati untuk naik angkot (lagi).
0 Comments
Gunung itu selalu ngasih cerita.
Gunung bikin kamu tau selemah apa kamu; ketika kamu sadar bahwa kamu sebegitu dekat dengan kata menyerah, setiap kali kamu menyenderkan bahu di tengah perjalanan dan hanyut dalam lelah. Ketika selalu dan selalu, yang kamu harapkan adalah kondisi terbaik untuk menyertai perjalananmu, bukan bersikap akan sama siapnya menghadapi kondisi apa pun yang menyambutmu nanti. Ketika kamu bisa melupakan seluruh perjuanganmu mencapai puncaknya, hanya karena kabut atau angin kencang yang menghampiri. Kamu bisa tau kamu selemah itu. Tapi, di sisi lain, gunung bisa bikin kamu tau sekuat apa kamu; melalui tiap-tiap tanjakannya yang kamu taklukan. Melalui mata-mata airnya yang menjadi saksi atas dahagamu. Melalui dedaunnya yang menyaksikan jatuh peluh-peluhmu. Melalui edelweissnya yang menyambut kedatanganmu. Dan melalui puncaknya yang bersorak gembira melihat tapakmu mendekat. Kamu bisa tau bahwa kamu bisa mengandalkan dirimu sendiri dengan itu. Gunung itu mengingatkanmu arti yang sesungguhnya; mengenai sebenar-benar ketenangan di tengah malam berbintang, mengenai sebenar-benar kesunyian di tengah semilir angin savana, dan mengenai sebenar-benar keindahan hidup yang selalu kamu ragukan dalam hari-harimu. Kamu bisa mendapat lebih banyak daripada sekedar pemandangan di situ. Gunung bikin kamu tau siapa kamu untuk kamu; dengan menyadarkan bahwa yang membawamu beranjak naik sampai puncak nanti, tiada lain dirimu sendiri. Dengan mengingatkan kamu bahwa dalam situasi sesulit apapun yang mungkin kamu jumpai suatu saat kelak, orang pertama yang bisa membawamu bangkit adalah dirimu sendiri. Dengan meyakinkanmu dalam kondisi sebaliknya, ketika kamu memutuskan untuk berbalik dan menyudahi, itu adalah dirimu sendiri yang memilih untuk berhenti. Kamu akan tau seberapa besar andil kamu pada sesuatu dalam hidupmu. Begitu lah, gunung itu selalu ngasih cerita. (22.19 di Minggu malam dari Putia yang lagi rindu sama gunung) Catatan tambahan Teruntuk anakku kelak, Pergilah ke gunung bersama kawan-kawanmu. Kamu akan yakin bahwa mereka adalah kawan terbaik ketika kalian sudah berpergian bersama dan mencapai puncak tanpa ada yang tertinggal. Tidak usah izin, ibu pasti perbolehkan. (atau bakal nyusulin) Belum sampai hitungan menit sejak aku memarkir motor di halaman rumah cinta sore tadi, tawa-tawa kecil sudah riuh terdengar. Sekilas sesuai dengan hakikatnya, perlambang dari keceriaan mutlak bocah-bocah pada umurnya. Adalah wajar jika tidak semua orang akan seketika memahami bahwa mereka sedang berjuang melawan penyakit yang hingga kini masih dielu-elukan berkategori ganas, mereka terlalu riang untuk itu. Tak lama kemudian, muncul lah satu persatu anak dengan cara khasnya masing-masing. Mulai dari yang pemalu, dengan gaya setengah ingin berkenalan sembari menggenggam erat tangan ayah dan bundanya. Sampai yang dengan terbukanya menghampiri lalu menggandeng tanganku untuk langsung saja bermain! Mereka unik. Dibalik kisah hidupnya, kuulangi: mereka unik!
Tanpa butuh waktu lama, kami sudah bercengkrama dengan akrab. Bermain plastisin membentuk benda-benda hasil cetusan imaji kami yang ternyata satu frekuensi, bermain mobil-mobilan sampai harus ke halaman karena mobil kami butuh track terjal, lalu bermain uno stacko yang membuat kami mau tidak mau harus mengerahkan seluruh fokus kami untuk mencapai kemenangan, kemudian juga bermain ucing sumput sambil berlatih kamuflase menggunakan bantal dan kasur. Aku senang melihat kalian senang! Mengasyikkan? Tentu. Sejenak bahkan aku lupa kondisi mereka berbeda denganku. Aku lupa bahwa aku sepenuhnya sehat, mereka tidak. Aku lupa bahwa aku tidak pernah merasakan cobaan seberat itu, mereka sudah. Aku lupa, karena di luar semuanya, aku dan mereka tertawa bersama-sama. Pun satu hal yang teramat menohokku: terlepas dari segalanya, hanya ada mereka dan sikap riangnya, lalu aku dan segala keluhanku. “Aduh gerah!” “Aduh hujan!” “Aduh besok ada tugas!” “Aduh ini survey lapangan banyak amat dah!” “Aduh laper banget!” Hingga aku sadari bahwa sebanyak mereka tersenyum di setiap harinya adalah sebanyak aku mengeluh di setiap hariku. Padahal, sebanyak alasan aku (seharusnya) tersenyum di setiap hariku adalah sebanyak alasan mereka (seharusnya) mengeluh di setiap harinya. Tapi yang ada justru terbalik. Aku malu. Maka sore ini adalah tamparan tersendiri untukku, perihal mengurangi mengeluh dan lebih jauhnya mencoba mengerti lebih dalam arti bersyukur. Terimakasih banyak adik-adik, jangan berhenti berjuang! Pagi itu, selepas upacara, aku dan (tentunya) masing-masing dari kita sibuk sendiri menelaah setiap daftar nama yang ditempel di pintu kelas. Berharap-harap cemas, entah berharap apa sebenarnya, tapi pasti semua ingin yang sama: kelas nyaman untuk bernaung selama 2 tahun ke depan.
Berjalanlah aku, satu persatu anak mulai menghilang setelah menemukan namanya dalam absen baru. Aku, masih mencari. Aku, sudah sampai di deret tengah jajaran kelas 11 ini. Kelas dekat ruang piket. XI MIA 6. Kuselusuri daftar nama yang tertera di sana, oh ada namaku. Ini lah kelasku nanti. Lalu sebelum melongo masuk ke dalam, kuruntut lagi nama dari absen awal sampai akhir untuk sekilas mengkhayal keadaan kelasku akan bagaimana, 2 tahun ke depan? Random, kelas ini random. Semua yang masuk baru. Semua yang ada baru. Singkatnya, jika pun kami ingin membangun kelas luar biasa, benar-benar harus dari nol. Sekali lagi, jika kami ingin. Too bad, hampir triwulan pertama terlihat belum semua dari kami menginginkan hal itu. Sampai PSP itu tiba. Intinya sederhana: membuat teater kelas. Tapi dampaknya tidak sederhana: kamu menemukan keluarga baru. Ketika sudah keluarga yang bekerjasama, hati yang turut serta, kemauan yang tak ada ujungnya, serta usaha setara batas maksimal yang kamu punya, semesta akan turut serta memberimu sesuatu spesial untuk melengkapi semuanya; gelar juara! Dan setelah tangis campur tawa di balik panggung waktu itu, aku tau kita sudah berhasil membangun kelas yang random ini dengan baik. Dengan amat sangat baik. Waktu-waktu setelah itu bergulir dengan cepat, mungkin terlalu cepat. Hari-hari yang kita isi selalu dengan tawa perlahan berganti dengan keseriusan menghadapi rentetan ujian, tanpa mengurangi rasa kebersamaan yang ada tentunya. Kelas terkooperatif dalam pelajaran, untukku. Didasarkan dengan keinginan untuk sukses dan lulus bersama, aku senang dengan paradigma asal semua bisa bukan asal aku bisa yang dipunya kelas ini. Aku mengagumi pegangan kita yang tak pernah lepas untuk saling bantu menuju puncak, bukan saling berlomba untuk membuktikan siapa yang terkuat. Karena kita semua kuat hahaha! Sekali lagi, terimakasih untuk segala tetek-bengek terbaik selama 2 tahun ini Terima kasih untuk semua tawa yang setiap hari selalu ada Terima kasih untuk forum-forum yang pada akhirnya membentuk keluarga Terima kasih untuk segala kehangatan di setiap kita wisata Terima kasih untuk seluruh ingatan yang tak mungkin untuk dilupa Terima kasih untuk gelar juara! Hahaha Secara menyuluruh, terima kasih sudah ada See you on top, calon-calon orang sukses dari tim Senam Pagi Production! What have we become just look what we have done. (White Lion - When The Children Cry)
Karena ketimbalbalikan dunia pada kita ada di level infinit (atau bagaimana pun itu menulisnya). Kalau mau jadi pelukis ya harus rajin-rajin melukis. Mau jadi ahli matematika ya harus rajin-rajin main rumus, atau sekedar latihan menghitung. Kalau mau jadi penyiar radio ya harus berani berbicara, usahakan mengobrol dengan siapa pun yang ada di dekatmu misalnya. Instead of staying on your phone for hours. Kecuali kalau mau ahli multimedia atau apa pun itu yang suka ngotak-ngatik barang elektronik. Karena apa pun yang kamu lakukan sekarang, benar-benar berhubungan dengan apa jadinya kamu nanti. Dunia tidak seinstan indomie rendang yang lezat itu. Semua butuh proses and a good proccess takes much more time than a not-that-good one. Usaha kamu digolongkan pada kategori yang mana pun itu (a good or a not-that-good one), kembali lagi padamu. Siapa yang tau dengan pasti satuan ukur diri sendiri, kalau bukan kamu? Berdarah-darah versimu tentu berbeda dengan berdarah-darah versi mereka. Dan dalam hal apa kamu rela mengucurkan darahmu pun, kembali lagi padamu. Mereka yang mau menjadi dokter akan memilih untuk mati syahid menghapal biologi. Berbeda dengan mereka yang mau menjadi teknisi, tentu memilih untuk berjihad di fisika. Di dunia ini semua tersedia, yang harus kamu lakukan adalah memilih satu dan perjuangkan pilihanmu. Tak perlu menjelaskan pada orang lain mengapa kamu memilih itu. Tunjukkan saja pada semua, termasuk dunia, kamu bahagia dengan pilihanmu. Dan dengan bahagia pula, kamu mengusahakannya. A hardwork beats talent if talent doesn't work hard. Just imagine if you have them both. Karena memilih jalur sendiri adalah sepenting itu. Kemauanmu kamu yang tau, pilih lah. Kemampuanmu kamu yang mengerti, kerja lah. Dari semua-mua, hanya hasil yang diluar kendalimu. Tapi kamu punya Allah Yang Maha Tahu. Ayo hidup. Dunia ini kejam untuk mereka yang diam. Mari bergerak! |
PutiaIngin memelihara seekor singa putih dan mengajaknya mendaki 7 puncak tertinggi dunia. Archives
April 2018
Categories |